Nama
kecil nan indah di sematkan padaku kala itu,, mulai ku sadari itu mempunyai
arti yang indah untuk ibuku. Elena,, ibu seraya memanggilku dari kejauhan,
dengan perasaan bangga aku menoleh padanya,, sesosok tinggi kurus dan rambut
panjang yang jelas kulihat, melaimbaikan tangnya tanpa salah. “Ibu”, kata itu yang terucap untuk pertama kali.
Senang, kagum, bangga itu yang ada dalam pikiranku. Tapi semua itu tidak
nyata,, aku sendiri tanpanya di dunia ini. Mimpi penghubung kami, tatkala aku
mulai berpikir kenapa dan mengapa aku di tinggalnya sendiri, tak terasa menetes
sebutir helai lembut air mata di pipiku.
Keluarga
bahagia mungkin impian untuk setiap orang tak terlupakan aku. Memimpikan
keluaraga yang mendampingiku, menyanjungku penung canda adalah harapan indah
untuk setiap anak yang teralahir di dunia surga ini. Keluarga, aku punya
mereka, meski tanpa orang tua yang sepenuhnya. Ayah adalah sosok sekaligus
ibuku dalam hidup ini, dia ajarakan bagaimana caraku bicara, makan, berjalan,
sekolah, dan masih banyak lagi. Mungkin bagi mereka di sana aku tak seberuntung
mereka, itu dalam renunganku, tapi mereka salah aku orang yang paling beruntung
dalam dunia genggaman Tuhan ini.
Aku
memiliki segalanya, tak ada yang kurang dariku, kata itu yang sering ku ucap di
depan kaca kamar tudurku, tapi bayangan itu terlintas lagi, kamu tak sempurna
tanpaku. Ku coba tepis kembali, Aku sempurna meski tanpamu,, aku miliki ayah,
aku miliki, kakek, nenek, adik, dan tante, paman, rumah, mobil, motor,
segalanya yang tidak kau tahu, termasuk ibu, meski bukan ibu kandungku, ku
teteskan air mata pada bayanganku sendiri. Sepereti tertekan kujalani hidup
ini, tapi ini tetap indah padaku.
Mereka menyayangiku lebih dari mereka menyayangi
dirinya, Aku tersadar,seorang orang tua
, berbadan besar, dan rambut putihnya duduk di sampingku, kamu adalah anunggrah
dalam keluarga ini, tak ada yang bisa pungkiri itu, kakek berkata padaku dengan
lembut. Aku termenung, aku sadar kakek ingin yang terbaik untukku. Aku
memeluknya erat, aku ingin melihatnya kek, aku ingin menyentuhnya, memeluk
eratnya, walau hanya utuk sekali seumur hidupku. Dia akan datang saat nanti,
kau akan tahu semua alsan itu, semuanya Elena semua tanpa terkecuali. Ku peluk
dengan lebih erat badan besar itu dengan rintihan air mata di pipiku. Cengeng
kakek berkata padaku, ayahmu, nenekmu, ibumu, saudaramu, menyangimu tak ada
yang pernah menyakitimu, jadi jangan pernah sakiti dirimu dengan hal konyol ini
lagi. Aku mengangguk polos, yah kakek benar, tapi kata hatiku tidak salah.
Aku
wanita, aku perlu tahu dia, Ibuku yang sebenarnya, ku beranjak dewasa memasuki
bangku perkuliahan, bertemu aku dengan teman berbagai macam sifat. Kutemukan
satu orang yang yah memang di katakan orang yang bisa mendukungku dalam
pendidikanku, Elisa, nama kami sama sama walan vokal E. Tak sengaja ku jatuhkan
dompetnya kala aku dengannya makan bersama di sebuah resto, Maaf El, tanyaku
pada Elisa. Udah gak apa kok kata nya. Ku lihat foto keluarga yang tertawa
sumbringah di dalam dompetnya, dengan ragu aku tanya,, itu foto keluaraga ya,
ehhhm bagus banget El kataku. Ya itu foto kelaurgaku, ayah ibu, dan adikku.
Tak
mau menunujukan wajah cantik yang terlinang air mata, ku ajak dia bercengkrama
masalah kampus, tapi entah angin darimana yang membisik di telinganya sepontan
dia mengajakku berlibur ke tempat keluarganya tinggal. Perasaan tak enak
menolak, ku terima ajakan itu. Tet, tet, tet, tet, sampai aku di rumah
orangtunya, senyum hangat memelukku dan elisa.
Malam terlewati dan aku mulai rutinitas pagi hari, Sembaring itu aku
berjalan jalan pagi untuk mencari udara segar. Ku kabari keluargaku bahwa aku
dirumahnya Elisa. Ayah berkata jaga dirimu.
Ku
lihat sesosok perempuan dengan santai bernyanyi dengan seorang anak kecil di
pangkuannya di bawah pohon Enu. Bahagia sekali, tapi sesekali ku lihat di
dahinya ada kerutan, terpikir jelas olehku, bahwa dia sedang memikirkan sesuatu
yang serius degan wajah yang bahagia. Aku tahu itu semua karena aku kuliah di
bidang Psychology, alias kejiwaan. Perempuan itu ingin memberikan kesan tenang
pada anak di pangkuannya, agar anak itu bisa bersandar di bahunya. Itu yang ku
tangkap dari celah kerutan dahi wanita dengan umur 40 tahun itu.
Elisa mengagetkanku, Elena itu tantenku, dia
menikah dengan pamanku, cantikan dia, ohya nanti malam ku undang dia makan
malam dengan kita di rumah. Kriiiitt,, malam tiba saatnya makan malam kata
Elisa. Kami bersorak, dengan perlahan wanita itu menuju ke meja makan, Elisa
siapa ini tanyanya, oh ya tante Sekar, ini Elena teman kampusku, cantikkan. Wanita
itu terdiam, ya cantik, cantik sekali. Air matanya menetes. Ku tanya kenapa
tante, jawabnya tidak apa apa. Sesosok anak yang kulihat tadi erat memanggilnya
dengan nama Bunda, sembarng ingin di suapkan makanan.
Jelas kudengar ketukan pintu itu,
kubuka perlahan, Tante, kenapa, kok malam malam ke sini, ingin ketemu Elisa,
tanyaku, tidak aku ingin bicara padamu. Langsung di ucapkan kata, “maaf ya
sayang”, dengan pelukan erat yang ku rindu selama ini, tante kenapa, tanyaku
walau kunikmati pelukan itu. Aku memang tak pantas jadi orang bisa menjagamu,
aku tak pantas, terngiang dalam tagisku, Ibu,. Ya Aku sekar, aku ibumu sayang,
ku lepas pelukan itu ku tutup pintu itu sembaring tak hentinya ku menangis. Kau
bukan ibuku, ibuku sudah lama mati, dia tak ada di sini lagi. Maafkan ibu
sayang, ibu salah telah menelantarkanmu, tapi ibu tak ada maksud sayang, ibu
menyayangingi mu sangat, maafkan ibu, tak sanggup ku dengar itu semua, ku buka
pintuku, dia menangis dan ku peluk erat dia selah tak ada pelukan yang pernah ku beri pada orang
lain.
Semua akan indah jika
memang pada saatnya. Tuhan yang menagtur takdir, dan kita yang berusaha
menjalaninya, ku terlahir di dunia ini, untuk tahu apa itu surga, terlahir untu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar